Tuesday, November 19, 2013

Rujak Super Duper Mahal

Senangnya bisa mudik ke kota kelahiran siang - siang begini, mana cuaca mendukung,sejuk, dingin seperti ciri khas kota wisata ini dan tidak hujan padahal membaca status dari teman-teman lewat socmed selalu bilang sedang hujan deras disini. 

Aku melirik sebentar jenjang 40 yang ada disampingku, masih seperti biasa kokoh dan indah dilihat. Suasana sih lebih sepi tidak seperti saat aku mudik tahun lalu, mungkin karena saat ini hari biasa bukan hari libur yang akan merubah suasana lengang ini menjadi penuh sesak dari orang-orang yang datang dari luar kota atau juga mereka yang berstatus sepertiku, mudik :-)

Walau berjalan sendiri sama sekali tidak membuatku canggung, malah bisa lebih leluasa bernostalgia dengan suasana kota, makanan dan siapa tau bisa bertemu teman yang beberapa diantaranya berniaga baik menjual baju-baju bordir atau mukena dengan sulaman khas dan tidak sedikit yang berjualan souvenir disepanjang jalan dari jenjang 40 menuju Jam Gadang.

Sampai didepan pertokoan yang menghadap ke Jam Gadang aku melihat tenda yang menjual rujak. Wah...jadi ingin nyicipin, kebayang bengkoang(wajib), mangga, jambu air dan lain - lain disiram dengan kuah kacang yang pedes dan manis cesssss... Ga pikir panjang langsung langkahku masuk ketenda tersebut.


"Buk satu ya" kataku ke ibu yang tengah duduk santai dibelakang meja jualan yang dijawab dengan anggukan lalu mulai bergerak mengulek bumbunya, pisang mentah, cabe, gula jawa, kacang tanah sangrai dan sedikit air. Lalu mulai memotong buah.
"ga pakai nenas ya bu"  ujarku mengingatkan saat dia sudah memegang buah itu.
"tapi kalau tidak pakai nenas rasa khasnya ga ada" jawab si ibu, aku sempat bimbang karena dari kecil aku tidak terlalu suka nenas malah pernah jadi bumerang kalau makan tidak hati-hati, tapi aku cuma bisa diam saja dan membiarkan ibu itu kembali memotong-motong...hmmm...separoh!

Entah apa penyebabnya tiba-tiba aku bertanya "berapa bu seporsi". 
"biasa, sama seperti yang dulu"jawabnya pelan membuatku makin penasaran
"berapa bu?" aku mendekati sambil dengan halus menahan tangannya untuk berhenti bekerja, "berapa biasanya bu" ulangku lagi
"biasa, 50.000" lagi - lagi menjawab dengan suara yang samar nyaris tidak terdengar
"50.000?...wah mahal sekali" kaget kalau rujak yang kebanyakkan nenas itu harganya begitu mahal dan diluar bayanganku "Maaf ya Bu, saya ga punya uang sebanyak itu untuk beli, maaf banget ya Bu saya ga jadi beli"
Wajahnya datar saja tidak marah dan juga tidak kaget, entah memang ini sering terjadi atau ....entahlah "saya cuma bisa ngasih ibu 5.000 untuk mengganti kerja barusan. Sekali lagi maaf ya Bu, tolong diterima ini"
Ibu itu bersedia menerima uang yang aku berikan tanpa kata, sampai aku melangkahkan kaki keluar dan menjauhpun  dia tidak berkata apa-apa atau menunjukkan sikap marah. 

Aku terus melangkahkan kaki dengan perasaan kecewa, kecewa dengan harga yang diberikan si ibu yang tidak masuk akal walau itu mungkin memang harga biasa buatnya (jangan-jangan karena itu tempatnya sepi) atau memang menaikkan harga karena merasa kesempatan ada 'pendatang' yang beli. 

Terdengar suara hujan mulai turun membuat semua pertanyaan-pertanyaan barusan menguap dalam sesaat, dikedipan mata berikutnya aku lihat langit sudah semakin gelap dan angin berhembus kencang. Disamping jagoan kecilku masih tertidur pulas, langsung aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas membereskan jemuran yang ada dibelakang melupakan sejenak mimpi yang datang siang-siang begini ;-)

No comments:

Post a Comment